Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Koas anak- Tak Tergantikan#2


“Langit tinggi bagai dinding, lembah luas ibarat mangkok, hutan menghijau seperti zamrud, sungai mengalir ibarat naga, tak terbilang kekayaan kampung ini. Sungguh tak terbilang. Maka yang manakah harta karun paling berharganya?”
“Wak Yati tidak sedang bicara tentang harta karun seperti yang selama ini dipahami banyak orang. Itu bukan tentang berjuta ton batubara yang terpendam di bawah tanah kami, beribu kilogram emas dan perak, ribuan hektar hutan-hutan sawit, itu juga bukan tentang koin-koin emas keluarga Van Houten yang ditemukan di loteng masjid kampung atau celengan indah naga dan peri-peri milik Nek Kiba”
“Kamilah harta karun paling berharga kampung”
“Anak-anak yang dibesarkan oleh kebijaksanaan alam, dididik langsung oleh keseharnaan kampung. Kamilah generasi berikut yang bukan hanya memastikan apakah hutan-hutan kami, tanah-tanah kami tetap lestari, tapi juga apakah kejujuran, harga diri, perangai yang elok serta kebaikan tetap terpelihara di manapun kami berada” – tere liye dalam serial anak mamak ‘Pukat’

Anak-anak, begitu Wak Yati menghargainya, mengikhlaskan dua orang anaknya dan turut berbahagia dengan anak-anak lain yang selamat dari sandera para penjajah. bukan ini bukan tentang resensi novel atau sejenisnya. Hanya sebuah cacatan kecil mengenai stase koas selama 9 minggu menyaksikan anak-anak keluar dan masuk rumah sakit dengan penyakit yang menawan keceriaan mereka. Ya ini masih cerita tentang koas anak.

Masa kanak-kanak merupakan fase paling menakjubkan dari seorang manusia. Terlebih ketika dalam kandungan bayangkan dalam 9 bulan segumpal darah dalam ukuran mililiter tumbuh, berkembang, membagi dirinya, berpindah dari atas ke bawah dari bawah ke atas, ketempat mereka yang seharusnya dan kemudian lahir dengan panjang ±50 cm. Bayangkan tinggimu bertambah 50 cm dalam 9 bulan. Kemudian lahir bayi lain yang terlalu cepat dari yang seharusnya. Mungkin kau sebut itu prematur, mungkin bagi para dokter itu pre term dan perlu perhatian khusus, tapi baginya itu perjuangan. Udara masih terlalu asing untuk dihirup, paru-paru masih terlalu lemah hanya untuk sekedar kembang kempis, hati yang bekerja keras membuang sisa darah dari ibu yang sudah tidak terpakai lagi. Bayi baru lahir yang terengut dari kenyamanan rahim yang melindunginya selama ini terpaksa untuk menangis namun terlalu lemah sehingga harus diberikan stimulus terlebih dahulu. Mungkin ia akan berhari-hari bahkan berminggu-minggu berada dalam inkubator, tapi entah mengapa setiap melihat perut mereka yang mencekung setiap mereka berusaha bernafas disanalah perjuangan bayi-bayi itu terlihat mengharukan.

Setelah lahir mereka masih punya 3 tahun kesempatan emas yang menakjubkan ‘golden period’. Di sana mereka mulai belajar mengenali wajah ibu mereka mereka, mengetahui bahwa benda berwarna merah itu adalah apel, mengeja kata-kata, tertawa riang saat kedua kaki mereka bisa berdiri diatas tanah. Ratusan ribu memori baru itu terbentuk, tersimpan dalam saraf-saraf otak mereka hingga dewasa. Saat kau melihat anak-anak yang memiliki takdir berbeda. Kesulitan menggunakan kedua kakinya untuk berdiri, kesulitan untuk menggerakkan lidahnya meski hanya untuk memanggil mama, atau tidak dapat mengejar perkembangannya agar setara dengan usianya.

Menyaksikan dengan mata kepala sendiri anak-anak dengan segala kekurangan mereka, tentu membuat kami ‘para koas baru-yang baru saja bertemu dengan kenyataan’ bersyukur berkali-kali dengan kenyataan bahwa kami berdiri di sini, dengan semua fungsi organ yang lengkap, perkembangan yang sesuai dengan usia, dan otak yang meski tidak dapat mengingat semua pelajaran dengan baik dan benar tapi masih berada dalam batas normal alias dbn.

Tidak ada yang bisa memastikan masa depan anak-anak itu akan sama seperti teman-teman sebaya, namun juga tidak ada yang bisa mengatakan mereka tidak seberharga anak-anak yang tumbuh normal di luar sana, mereka tetap sama berharganya. Anak-anak sampai kapan pun akan tetap menjadi harta karun paling berharga.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Koas anak- TAK TERGANTIKAN #1


Satu hal yang mungkin saat itu hilang dari perhatian para petugas yang sibuk lalu lalang di IGD. Selain pasien yang pastinya pusat perhatian di ruangan itu, para dokter yang sibuk dengan statusnya, para koas yang lalu lalang entah ngapain, para perawat yang bolak-balik ngeinfus, dan petugas lainnya. Ada orang tua pasien (oh ya stase pertama saya di departemen anak, jadi ini ceritanya lagi di IGD anak). Ada beberapa orang tua yang masuk dengan anaknya pada senin pagi, masih ada ketika malamnya saya jaga malam, besoknya ketika lagi di divisi emergensi orang tuanya masih ada disamping anak mereka yang masih dalam kondisi gawat darurat.

Para dokter boleh bergadang, bertanggung jawab untuk tetap terjaga malam itu, memastikan mereka melakukan tugasnya dengan baik sesuai dengan profesi mereka. Para dokter boleh merasa sangat lelah karena tugas mereka menumpuk sangat banyak, boleh jadi mereka kehabisan energi, karena memikirkan diagnosis dan tindakan yang akan dilakukan untuk pasien, boleh jadi mereka stres karena kehidupan pribadi mereka yang terganggu karena hampir 72 jam di rumah sakit. Tapi ada apa dengan orang tua pasien. Mereka mungkin tidak perlu memikirkan apa-apa yang berhubungan dengan teori macam-macam penyakit. Tidak ada yang memaksa mereka untuk tidak tidur. Tapi apakah mereka dapat tertidur meski dipaksa? Meski mereka tertidur akankah mereka tertidur dengan nyenyak? Mereka mengabaikan rasa lelah  dan tetap bertahan disamping tempat tidur anak mereka. Menenangkan anaknya saat ia rewel karena rasa sakitnya dan berharap agar rasa sakit itu dapat dipindahkan pada mereka, agar anaknya tidak lagi merasakan sakit. Saat dokter memperhatikan semua selang dan alat-alat yang menempel pada tubuh pasien, orang tua hanya akan memperhatikan hela nafas anaknya yang berat dan merasakan sakit dibalik dadanya melihat perjuangan anaknya yang menyakitkan.

Lelah memang tapi tak ada yang mengalahkan lelah lahir batin orang tua pasien. Menyaksikan pemandangan seperti itu, tiba-tiba terbayang anak yang sudah sehat, beranjak dewasa dan kemudian memilih untuk tidak mendengar kata-kata orang tuanya, melupakan pengorbanan orang tuanya saat menemani mereka yang sakit di masa lalu. Semoga di masa depan, anak-anak yang terbaring sakit di ranjang IGD hari ini, atau yang berhari-hari terbaring lemas di bangsal rawat inap, tetap mengingat pengorbanan dan kasih sayang ayah ibu mereka, semoga.

#p.s terima kasih ayah, ummi untuk setiap energi ekstra yang dihabiskan ketika saya saya sakit :’)


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Koas anak-TAK TERGANTIKAN #intro


Sebuah simulasi kecil kehidupan yang kemungkinan besar akan saya lalui dimulai. Istilah bekennya ‘koas’, kadang-kadang pakai embel-embel ‘dek’, kalau pengen terhormat dikit bisa dipanggil dokter muda. Dimulailah perjalanan pertama di dunia klinis setelah 3.5 tahun bergerumul dengan pasien-pasien khayalan yang mempunyai nama serupa dengan diagnosis penyakit, menumpuk handout hasil tugas baca teman setutor (atau tutor orang), akrab dengan flipchart dengan tulisan ala kadarnya, dan mengasah keterampilan menghadapi pasien bohongan yang sudah di skenario, atau paling banter teman sendiri.

Sekarang, semua hapalan yang mungkin sudah lama tak diulang itu harus dibongkar lagi ketika diperlukan. Banyak ilmu klinis baru yang harus dipelajari, dilatih. Bukan lagi dengan pasien-pasien sehat, atau pasien-pasien kertas yang tidak akan rugi apa-apa kalau salah melakukan tindakan. Kehidupan rumah sakit dimulai. Rata-rata masuk jam 7 pulang jam 4, jam normal kantoran. Beberapa departemen punya gaya masing-masing, bisa masuk jam 5 pagi, atau bisa pulang jam 1 siang, atau malah pulang setelah matahari lama tenggelam.

Pernah sekali waktu, saya berada unit gawat darurat selama hampir 36 jam dan dilanjutkan 9 jam besoknya setelah sempat mengistirahatkan tubuh di kosan semalaman. Capek? Ya iyalah, semua koas memang harus merasakan pengalaman 36 jam tertahan di rumah sakit minimal sekali seminggu, meski ada akan ada waktu untuk makan, solat, mandi dan istirahat alakadarnya. Kalau denger cerita residen (dokter yang lagi ngambil program spesialis panggilanya residen),  perjuangannya lebih mati-matian lagi. Secara profesi mereka adalah asisten konsulen (dokter yang udah spesialis), dan koas adalah asisten dari residen, jadi emang koas itu adalah asistennya asisten. Tapi para residen ini yang secara langsung memberi intruksi tindakan pada pasien setelah konsultasi pada konsulennya, dan koas sedia kaki tangan untuk siap-siap asistensi ini-itu sambil curi-curi belajar dari tindakan yang dilakukan residen. Kalau beruntung bisa dapat bimbingan dari residen yang baik hati.

Setelah wara-wiri menangani pasien IGD sambil terus memantau perkembangan pasien, nah saatnya para residen sibuk dengan status-status yang harus ditulis dengan tulisan tangan, berlembar-lembar pula, mengertilah saya selain kenapa tulisan dokter makin lama makin gak jelas. Perjuangan ini yang sebenarnya sudah terlihat gak manusiawi lagi, emang harus dilakukan para dokter residen untuk profesinya. Kita para koas?  Ya mirip-mirip begitu sih, tapi masih lebih manusiawi sepertinya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS