Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Rumah Sakit

I used to hate hospital, paling tidak ketika sudah mengenakan toga S.ked, bagi saya rumah sakit masih tidak menyenangkan.
Dulu bocah kecil kurus ini memang lumayan sering sakit, sekali dua kali terpaksa harus menginap di rumah sakit, dengan diagnosis thypoid. Merasakan malam di rumah sakit yang mengerikan, dan makanan rumah sakit yang lebih mengerikan lagi ditengah tubuh yang lemas karena kalah perang melawan kuman salmonella. Selanjutnya, entah kenapa setiap demam tinggi (yang selalu datang ketika malam dan baikan pagi harinya), diikuti dengan gangguan pencernaan, juga batuk pilek ringan saya hanya dibawa ke tempat praktek dokter terdekat dan bed rest di rumah. Sejak itu saya mulai merasa asing dengan suasana rumah sakit. Setiap menjenguk kerabat ke rumah sakit, setiap melihat tulisan 'anak berumur dibawah 7 tahun dilarang masuk', saya merasa rumah sakit bukanlah tempat yang bersahabat untuk manusia , apalagi anak-anak.

(skip)

Tiba2 waktu membawa saya kesini, mempelajari ilmu tentang manusia dan bagaimana caranya untuk memperbaiki kualitas hidup manusia terutama dari sisi kesehatan. Tidak mutlak memang, namun lebih dari 50% kemungkinan masa depan saya akan berada di rumah sakit berinteraksi dengan pesakit dengan jutaan kuman yang bertebaran disana. Dimulai dari sekarang, meski baru berperan sebagai asistennya asisten. Tidak secara langsung berhubungan dengan pasien, namun hampir setengah dari 24 jam jatah bernafas saya dalam sehari dilakukan di rumah sakit (ditambah dengan porsi jaga malam) ada sisi baru rumah sakit yang saya tangkap.

Rumah sakit ternyata bukan hanya tempat para kuman bertebaran (seperti yang saya kira dulu), tapi disana ada harapan. Harapan untuk kesembuhan dari keuarga pasien untuk orang-orang yang mereka cintai yang terbaring lemah di bed rumah sakit.

Disana terlihat besarnya pengorbanan orang tua menunggui anaknya yang sakit, berhari2 bahkan berbulan-bulan melupakan fisik mereka sendiri yang juga lelah.

Disana terlihat bagaimana seorang anak membuktikan baktinya pada orang tua mereka yang renta, terbaring sakit, saat mereka anak-anak yang sudah dewasa itu mempunyai kehidupan sendiri dengan keluarga kecil mereka mereka tetap merawat orang tua dengan rasa sayang dan hormat yang tidak dikurangi dengan semua masalah keuangan, waktu dan anak2 mereka yang masih kecil dan ditinggal dirumah.

Di rumah sakit sering terlihat wajah dengan kesedihan mendalam, wajah2 kehilangan yang tidak rela kehilangan, penyesalan, atau yang berusaha tegar meski dengan air mata di pelupuk mata, wajah2 yang berduka.

Tapi juga ada wajah yang berseri bahagia, memandang penuh kagum menyapa makhluk kecil yang telah mereka nanti selama 9 bulan, seorang laki2 yang terlahir kembali sebagai seorang ayah menyenandungkan azan dengan canggung di samping makhluk kecil yang terdiam bingung di dalam inkubator. Haru.

Ada perjuangan demi antrian peringanan biaya rumah sakit, bersaing antrian dengan pasien lain demi bpjs yang sistemnya masih terlalu muda untuk dikatakan bagus.

Ada kesenjangan status sosial yang membedakan fasilitas dan pelayanan yang didapat. Miris memang membandingkan ward kelas terendah yang seperti pasar dengan ward kelas tertinggi yang seperti kamr hotel berbintang, di bawah satu atap rumah sakit yang sama. Sebuah pr besar bagi sistem dan pelayanan kesehatan Indonesia.

Di rumah sakit terjadi banyak peristiwa besar dalam kehidupan manusia, lahir, melahirkan, dan kematian. Hanya pernikahan yang tidak dilangsungkan disana (kecuali bagi fachri dan maria di buku aac-nya habiburrahman😁).
Hal kecil yang bisa membuat saya bersyukur bisa menyaksikan semua itu. Alhamdulillah.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS