“Kau
bisuak kuliah jan jauah-jauah lo ya, disiko selah di padang, jan pai lo ka Jawa manga jauah bana”, begitu pesan almarhum kakek yang ya panggil ‘inyiak’ ketika ya berkunjung di akhir
pekan saat, pulang massal SMA. Saat itu saya hanya nyengir, dalam hati ingin bertanya
‘kenapa?’ tapi tidak terucapkan. Entah apa alasan inyik berkata demikian,yang
pasti lelaki 8o tahunan yang punya 8 anak itu telah melepaskan 5 orang anaknya
diperantauan. Hanya 3 orang yang masih bermukim di kampung halaman, salah
satunya adalah ummi, ibu saya.
Saat inyik berpesan seperti itu, saya sudah
tidak menetap di rumah lagi, sudah 4 tahun sejak diasramakan di salah satu
sekolah di Padang menjadi terbiasa dengan merantau. Merantau berarti menemukan
hal baru, menemukan tantangan untuk mandiri dan adaptasi dan saya terlanjur
suka hal itu. Ditambah lagi dengan sebuah kebiasan senior-senior di SMA memilih
melanjutkan pendidikan di pulau Jawa. Dengan mereka yang datang berkunjung
memperkenalkan universitas mereka bahkan tempat kosan mereka disana, membuat
seakan-akan pulau yang dibatasi oleh selat Sunda dengan pulau tempat sekolah
saya berdiri itu tidak asing lagi.
Dan akhirnya meski pesan inyik masih
terngiang-ngiang, Ya tetap akhirnya berangkat kesini. Ke tanah sunda. Saat
rindu kampung halaman, saat merindukan orang tua saat itulah pesan inyik
kembali bergema. Ayah ummi tidak mengizinkan untuk mengucapakan kata rindu
sejak SMA. Perjuangan itu memang
pengorbanan, jika pengorbanan itu adalah kebersamaan di dunia tidak seberapa
dibanding dengan kebersamaan di akhirat. Begitu pesan ummi ketika ya
tiba-tiba menjadi cengeng saat jaman SMA. Pesan itu ampuh juga, ketika merasa
rindu. Menjadi penguat untuk berjuang mendapatkan tempat terbaik di akhirat.
Mungkin alasan terbesar kenapa disetiap penutup pesan ketika teleponan adalah ‘jan lalai shalat yo,nak’
Namun ketika masih tersedia pilihan hal yang
saya inginkan adalah kembali ke tanah itu, tanah tempat saya dibesarkan. Tempat
yang mungkin tidak begitu mengingat wajah gadis kecil kurus yang suka lalu lalang
seenaknya. Tapi tempat itu masih dengan jelas tersimpan dibenak ya dalam versi
lamanya. Dalam versi terbaru, sih beberapa petak sawah yang ya ingat sudah
berubah menjadi ruko. Ya kampung kecil itu mulai menggeliat tumbuh.
Tapi setiap melihat perubahan itu, saya
miris. Tampaknya mata ini lebih suka dengan sawah dan kebun yang berjejer rapi.
Memberikan ruang yang luas bagi anak-anak untuk bermain, memberikan tempat bagi
burung-burung untuk singgah sejenak sebelum diusir petani. Di sisi lainya
perkembangan yang terjadi juga tidak selamanya buruk. Ekonomi dan
kesejahterahan masyarakat dapat meningkat, uang dapat berputar lebih cepat,
daerah kecil yang dulunya tidak ada di peta saya ketika SD itu juga mulai bisa
berinteraksi lebih banyak dengan dunia luar.
Mengingat perubahan kecil itu, tiba-tiba saya
teringat ibu kota dan beberapa kota (yang hanya sedikit) yang saya singgahi di
negeri ini. Saat seorang bertanya, ‘ketika dewasa nanti kau mau tinggal di
ibukota?’ tanpa pikir panjang saya menjawab tidak. Teman itu berkerut, kenapa?
Padahal di ibukota semuanya serba bisa, access gampang, perputaran uang cepat,
dalam pandangannya ibukota terlihat lebih menjanjikan. Dari sudut itu dia
benar, tapi aku tidak mau menghabiskan hidupku dijalanan, macet yang tiada ampunnya, populasi yang terlalu padat tidak menyisakan
ruang untuk bersantai sejenak. Ketergantungan pada AC,
mengingat betapa tidak nyamannya udara yang akan dihirup tanpa penyejuk dan
penyaring udara itu. Mengingat betapa ibukota memisahkan kehidupan yang berada
yang mampu membeli semua dengan yang bahkan tidak bisa membeli udara ketika
mereka sakit.
Sungguh saya tidak ingin waktu merubah
kampung kecil saya. Meski untuk mencapai tingkat yang semengerikan itu masih
dalam hitungan waktu cahaya, saya bahkan tak ingin ada kedai fastfood yang
didirikan disana. Agak sedikit aneh memang mengingat saya dengan mudahnya ikut
menjadi salah satu penikmat gerai makanan cepat saji disini. Tapi tiap akhir
pekan, melihat segerombolan keluarga, membawa anak-anaknya untuk menikmati
makanan disana, terlihat sangat tidak keren. Kenapa mereka gak piknik sekalian
aja ke pantai kek, ke taman kek.
-ya gak tau ini mau ngomong kearah mana…-
Intinya, ya ingin kembali kesana, menjadi
salah satu orang yang berperan dalam perkembangan disana. Ingin ikut andil
dalam prosesnya. Dulu saat pelajaran BAM, ya gak ingat kata-kata persisnya,
tapi bunyinya kalau gak salah ‘saumpamo karambia tumbuah
miriang’. Seperti pohon kelapa yang tumbuh nya gak
lurus, buahnya bukan jatuh di halaman empunya malah berguling-guling di jalanan
dan diambil orang lain.
Itu adalah pribahasa untuk anak rantau yang
tidak kembali ke kampung. Mereka dilahirkan disana, dan belajar ke negeri orang
untuk mendapatkan ilmu. Namun pada akhirnya mereka tetap disana dan tidak
memberikan apa-apa di tanah tempat dia dilahirkan. Kalau kata teman-teman
disini mereka gak bakalan diam melihat orang padang menguasai tanah sunda. Yah…
masuk akal memang. Tapi setelah dipikir-pikir lagi, ketika teman sejawat yang
kita kenal berada disini. Jaringan, kenalan, rekomendasi institusi pastinya
juga lebih mudah disini. Mengingat institusi terkait tentu juga ingin agar
orang-orang yang menimba ilmu darinya juga ikut membangun daerahnya..
Well itu pilihan sih. Tak ada salahnya
juga… dimanapun kaki berpijak itu tetap
bumi Allah. Fantashiru fil ard. Selama masih berbuat baik, beramal shaleh,
selama Allah ridho.
0 komentar:
Posting Komentar