Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

When universal coverage does not cover universally (part 1)

Katanya, di negaraku ditargetkan agar semua warganya mempunyai asuransi kesehatan. Negara tercintaku yang masih dalam masa tumbuh kembang ini ingin mengikuti langkah negara maju. Negara yang bisa memberikan rasa aman ada warganya saat mereka harus sakit. rasa aman dari biaya rumah sakit dan rasa aman dari diterlantarkan oleh fasilitas kesehatan karena tidak mempunyai jaminan.
Untuk hal itu diperlakukanlah BPJS, badan penyelenggara jaminan sosial, mereka mengadakan program JKN yang merupakan program Jaminan Kesehatan Nasional. Wow, bayangkan mereka menjamin kesehatan secara nasional, yang berarti semua warga negara terdaftar akan dijamin kesehatannya. Sebuah langkah besar bagi negara yang masih berkembang. Tak apa, negara ini sudah resmi berdiri sejak 1945, tidak salah jika kita berusaha mencoba menjadi lebih baik lagi.
Karena JKN merupakan sebuah program asuransi, maka ditetapkanlah iuran perbulan. Disediakan 3 kelas sesuai dengan kemampuan masing-masing. setelah membayar iuran warga negara akan diberikan kartu dengan lambang BPJS dan JKN yang di cetak diatas kertas HVS. Pemerintah memberikan tunjangan kesehatan pada pegawai sipil berupa Askes yang sekarang telah disatukan dengan BPJS, kartu askes lama masih dapat digunakan karena nomor kartunya telah diintegrasikanpada BPJS. Pemerintah juga memberikan jaminan kesehatan bagi yang tak mampu untuk bayar iurannya berupa Jamkesmas, Jamkesda, Jamkespral semua nya digabungkan dalam satu badan penyelenggara yaitu BPJS. BPJS mengeluarkan kartu saktinya berupa KIS alias kartu indonesia sehat bagi yang tak mampu. Harus diingat, untuk mendapatkan KIS ini anda harus terdaftar sebagai warga miskin di kelurahan setempat dan mempunyai surat miskin. Hubungan yang tidak baik dengan ketua lurah dapat mengakibatkan kehilangan akal saat dokter memvonis anda mengidap penyakit yang membutuhkan biaya besar.
Dengan semua kartu sakti itu, masyarakat mengira terjaminlah mereka dalam urusan kesehatan, setiap harus berkunjung ke rumah sakit.
“Maaf Pak, apakah anda mempunyai rujukan dari puskesmas atau dari dokter keluarga yang terdaftar di BPJS anda?” 
Pasien kebingungan ketika ia berobat ke rumah sakit di daerahnya, berharap mendapat pengobatan langsung dari dokter spesialis menggunakan jaminan kesehatan yang mengklaim akan menjamin biaya pengobatannya. Namun apa lagi ini? Surat Rujukan?
Sistem rujukan bertingkat ini sejatinya bukanlah program BPJS, hanya saja ketika sistem ini diberlakukan BPJS juga mulai diperkenalkan, sehingga mereka menjadi terintegrasi satu sama lain. Sejatinya sistem rujukan bertingkat ini berfungsi untuk menguntungkan semua pihak. Sebelumnya rumah sakit tipe A, lebih serupa dengan puskesmas raksasa. Ketika orang dengan batuk pilek biasa ingin diobati oleh dokter penyakit dalam dengan subspesialis mikrobiologi molekuler. Ketika pasien dengan demam dengue berebut ruang rawat dengan pasien penyakit ginjal kronis dengan gejala akut, rumah sakit sebesar itu akan menjadi overload. Saat itu sudah menjadi pemandangan biasanya ketika di lobi rumah sakit dipenuhi pasien yang terbaring diatas bed menunggu bed kosong di bangsal, litterally mereka di rawat inapkan di lobi rumah sakit, tanpa terdaftar sebagai pasien, tidak divisite oleh dokter atau dikontrol kondisinya oleh perawat. Hal seperti itu hanya menjadikan rumah sakit semakin ‘sakit’
Di sisi sebaliknya sistem ini menuntut dokter layanan primer untuk menjadi lebih terampil menangani kasus sesuai dengan kompetensinya dan juga diminta untuk lihai merujuk pasien diluar kompetensinya sesuai dengan spesialiasi yang dituju. Menangani pasien yang diluar kompetensinya berarti tidak ada jaminan biaya dari BPJS, merujuk pasien dengan diagnosis yang harus selesai di tangan dokter umum membuat RS yang menerima tidak akan mendapatkan klain atas pasien yang dirawatnya
“Dok, mulai bulan April ini pasien dengan diagnosis deman dengue tidak mendapat klaim BPJS” kabar buruk dari perawat ruangan. Jika pasien dengan DB tidak dirawat di RS tipe C dimana mereka akan dirawat? di puskesmas yang tidak semuanya mempunyai fasilitas rawat inap? di RS tipe D yang sama sekali tidak ada, atau tidak menerima pasien BPJS karena mereka merupakan RS swasta yang tidak mau dibuat bankrut oleh BPJS. Atau sudahkan BPJS memberikan pelatihan pada warga negara ini untuk melakukan cek trombosit, HB dan hematrokrit  mandiri secara berkala dan melakukan resusitasi sendiri apabila terjadi syok?

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar