Diberdayakan oleh Blogger.
RSS
Tampilkan postingan dengan label AldebaranIQ. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label AldebaranIQ. Tampilkan semua postingan

aku pengen Pacaraaannn...!!!!

(copas dari alif, saudaraku 1 dari 60 bintang)


Diary Perasaan Alif Terhadap Sesuatu yang Bernama Cinta

Dalam tulisanku yang perdana –dalam masalah cinta- ini aku ingin terus terang kalau aku ingin merasakan fase remaja dimabuk asmara atau lebih populer dengan sebutan pacaran.

AKU PENGEN PACARAAAAN! Tapi aku punya permasalahan dengan kalimat barusan. Pacaran bukanlah jalan yang aman untuk ditempuh, karena kita sama-sama tau kalau pacaran bukan budaya muslim dan dilarang oleh agama kita, Islam rahmatan lil ‘alamin.

Siang tadi, saat latihan Karma di Ladang Kurusetra (pentas untuk FKI 2011 di Solo), aku melihat dua pasang sejoli yang sedang bercengkrama, mereka adalah Sammy & Martina dan Ira & Oji. Sepertinya asik ya kalau pacaran. Bisa pegang-pegangan, ada yang ngasih semangat, ada yang memperhatiin, ada yang selalu disamping kita saat dibutuhkan, ada yang menguatkan saat kita sedang down, tempat berbagi, tempat melepas resah dan gundah, dan berbagai alasan (pembenaran) lainnya.

Tidak dapat dipungkiri, tentu saja sebagai pria yang normal, seorang pria yang memiki kromosom XY, aku menyukai sesosok makhluk yang diciptakan dengan kelemahlembutan dan keindahan, yaitu wanita. Tapi permasalahannya adalah bagaimana caraku untuk menyalurkan perasaan cintaku itu pada sesuatu atau seseorang, padahal kita atau kami belum punya ikatan apa-apa.
Secara teknis Islam hanya membenarkan hubungan dua insan non mahram ikhwan dan akhwat dalam satu ikatan yang disebut dengan PERNIKAHAN.

Nah, ngomong masalah pernikahan, kita juga sudah sama-sama tahu, pernikahan itu punya hukum masing-masing, dilihat dari situasi dan kondisi.
Halal apabila udah nggak tahan dan sudah mampu nafkahin anak orang Sunat jika masih mampu nahan, tapi dah tergolong mampu dalam menafkahi pasangan Makhruh jika udah kepengen, tapi belum bisa ngasih nafkah ama pasangan Dan haram jika nikah dg niat menyakiti pasangan
Jika dilihat dari sudut kemanusiaan, aku masuk ke dalam kategori makhruh, dan harus melakukan apa yang sudah dibilang dalam hadist yang diriwayatkan oleh om Bukhari:
“Wahai segenap pemuda, barangsiapa yang mampu memikul beban keluarga hendaklah kawin. Sesungguhnya perkawinan itu lebih dapat meredam gejolak mata dan nafsu seksual, tapi barangsiapa yang belum mampu hendaklah dia berpuasa karena (puasa itu) benteng (penjagaan) baginya” (HR. Bukhari)

Berarti, tentu saja aku harus berpuasa agar gejolak dalam jiwa nggak lepas kesana kemari kayak anak Alay (lho?). akhirnya ku coba untuk berpuasa. Hm... puasa ternyata ampuh juga.
Setelah nafsu ku berhasil ku kendalikan, akhirnya Alif Rahmadanil ini bisa bertahan untuk tidak pacaran. Alhamdulillah ya, sesuatu...

Tapi, pada saat hati sudah mulai terjaga, saat mata hanya tertuju pada foto yang ada di dinding kamar (lho? Kok?) saat tidak ada yang bisa menggoyahkan hatiku, Ternyata mahasiswa baru angkatan 2011 di jurusan Teater, berhasil menjebol pertahananku. Dia bernama Kresna, seorang Katholik yang taat, dan punya kepribadian yang baik.
PERLU DIGARISBAWAHI!!! Ini hanya sekedar suka belaka. Beda dengan Cinta. Kalau cinta, itu mutlak, Insya Allah,dengan izin Allah, ndak ado nan bisa manggoyahan hati wak do ka cinta wak do, dan Insya Allah ndak ado satu wanita pun yang bisa menggeser kedudukan dirinya di hati denai. Hehehe

Saat kresna masuk ke kehidupanku, rasanya biasa-biasa aja, sampai suatu ketika terjadi perbincangan antara diriku dengan seorang teman
                Teman  : eh, lif kamu dah punya cwe blum?
                Aku        : belum?
                T              : diantara anak baru, ada yang kecantol di hatimu nggak?
                A             : maksudnya? Sekedar suka gitu?
                T              : iya.
                A             : ada sih, dia tu cewek yang imut2, mungil, dan berkacamata, rajin pula
                T              : kresna ya?
A             : iya. Tapi aku hanya sekedar suka lho...
Sejak saat perbincangan itu, di kampus, aku sering dipanas-panasi masalah Kresna. Sampai suatu hari, ternyata Kresna udah ditembak duluan oleh Rizky (Anak Etnomusikologi ‘08). Teman2 malah berpikiran aku nggak gentle karena nggak mengungkapkan perasaanku terlebih dahulu kepada Kresna sebelum Rizky mendahului. Masalah ini ternyata juga sampai ke telinga dosen... wah, parah, tiap ketemu aku langsung dikasihani gitu, soalnya “KASIHAN ALIF, CINTANYA BERTEPUK SEBELAH TANGAN”. Duh, padahal perasaanku itu nggak segitunya kalee....
Tapi hal yang berbeda kurasakan sejak aku di “angek-angekan” bersama kresna. Aku jadi sering salah tingkah di depan adik kelas yang lain.
Ck... dasar emang susah ngomong masalah perasaan ama teman yang suka ngegosip, apalagi kalau masalah suka sama adik kelas.

Jadi, aku baru saja merasakan sedikit sensasi hubungan (kalo di pesbuk terdapat istilah in relationship with...)yang sangat mengganggu jiwa.

Hikmah yang ku dapat dari kejadian itu adalah saat hati sedang bergejolak, jika lengah sedikit saja, Syetan dapat dengan mudah menarik rasa suka kepada lawan jenis menjadi NAFSU. Untuk nasfu sendiri, itu bukan hanya nafsu seksual, tapi juga nafsu untuk memiliki, nafsu ingin diperhatikan, nafsu ingin disayang, dll.

Soal hubunganku dengan Kresna cukup hanya sebagai contoh saja. lagian kita nggak se-iman kok, pacaran ama yang se-agama aj udah susah, apalagi pacaran sama yang nggak se-iman. Ya malah lebih ribet.

Tapi dalam hati yang terdalam aku tetap ingin merasakan bagaimana sih rasanya punya pacar (walaupun saat SMP udah pernah pacaran ama Nurliana selama 3 bulan). Mungkin saja Allah  tidak memberiku kesempatan saat ini dan akan memberi kesempatan kepadaku untuk merasakan nikmatnya pacaran setelah mengucapkan janji suci berupa ijab kabul di depan penghulu nanti? Wallahu’alam bissawab.

YANG PENTING SAMPAI TULISAN INI DISELESAIKAN, ALIF MASIH GALAU...
HUHUHUHUHU.... TOLONG SAYA...

Kamar Kos, 11 Oktober 2011 pukul 22.46
Sambil mendengarkan lagu Sheila on 7
“PEMUJA RAHASIA”

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

it just dust not a star yet #2

Kembali ke antrian yang yaya tinggalkan berapa saat, kembali bertemu dengan beberapa orang yang sempat berkenalan sebelumnya.
                “Ya, kenalkan ini Vina, dia dari Pariaman”, seorang teman yang baru ya kenal mengenalkan temannya yang juga baru dikenalnya kepadaku.
                “Hai”, sapa anak itu ramah, dia duduk di atas meja sambil menggoyang-goyangkan kakinya.
itu dia si vinna, duduk di meja
sambil mengoyang-goyangkan kakinya
                “Hai, Yaya”, jawabku, sambil menanyakan hal-hal dasar seperti saat berkenalan dengan teman-teman yang lain. Seperti sekolah asal, hmmm sepertinya hanya sekolah asal….
                “Ya, punya seragam cadangan gak?”, Tanya Vina ketika itu, Yaya baru sadar ternyata vina tidak menggunakan seragam , padahal saat wawancara, harus menggenakan seragam. Dan karena memang tidak membawa seragam cadangan, yaya hanya bisa menggeleng.
                “kalau kita tukeran mau gak?”, tawarnya santai
                “Huh?”, hampir saja ekspresi kaget itu mencuat di air muka ya.  ‘tukeran?? Emang sih dulu di pesantren pinjam meminjam baju adalah hal yang biasa, namun tukeran baju yang lagi dipakai, ya belum berniat nyoba’ otak ya tiba-tiba sibuk mencerna kata-kata barusan, mengenai efek fisiologis, sosiologis, dan patologis yang mungkin muncul apabila kejadian tadi.
                Masih dengan tampang bego’ ya belum bisa memberikan jawaban yang pasti.
me and vinna after one year
                “engggg,,, ya juga belum selesai wawancara, nih”, jawabnya ragu, padahal itu alasan paling bagus dan jujur. Sip. Gadis itu mengangguk dan mencari korban lain. Ada sedikit rasa bersalah di hati Ya, bagaimana kalau dia tidak diizinkan masuk, cuma gara-gara gak make seragam. Duh serasa makan buah simalakama.
                Begitulah, rentetan wawancara itu berlangsung tidak menyenangkan karena antriannya yang makin lama makin serabutan, karena ada teman-teman yang mulai menangis karena waktu pendaftaran sudah mau ditutup, sudah ngantri dari pagi tapi nasib belum berbaik hati padanya, bukan karena proses wawancaranya karena yang mewawancara itu Pembina asrama yang baik-baik.
                Jam 4 sore. Waktu habis…..
                 Ya belum tes kesehatan dan wawancara psikotes. Saat wawancara psikotes, giliran di depan mata, tapi waktu keburu habis, dan pewawancaranya keluar dari ruangan diiringi tatapan nelangsa murid-murid. Murid yang terakhir di wawancarai memakai tas hijau dan menangis saat diwawancara, dia mempunyai kembaran yang duduk berbagi kursi dengan ya. ya tidak terlalu mempedulikan kembarannya yang memasang tampang gusar di samping ya, karena terlanjur nelangsa menyaksikan pewawancara melangkah pasti keluar.
                “berapa test lagi yaya yang belum selesai, nak”, tanyak ayah.
                “dua”, jawabku manyun dan lemas, karena harus kembali lagi ke tempat ini besok pagi bayangan perasaan mual saat melewati kelok44 kembali melintas.
                “Tes apa aja yang belom”, Tanya ayah lagi.
                “Kesehatan dan wawancara psikotes”, jawab ya lagi, terbayang masa-masa suram berebut antrian saat di tempat tes kesehatan. Antrean disana sangat beringas di penghujung waktu. Desak-desakkan seperti pembagian sembako yang tragis itu lho, ditambah ada sekelompok murid dengan pakaian batik yang seragam, berusaha sibuk merayu petugas agar antriannya dimajukan.
                Dan saat itu keajaiban terjadi, ayah menarik yaya ke ruangan tes kesehatan, membujuk dokter yang disana yang sudah kucel dan kecapean memeriksa kesehatan peserta yang mendaftar untuk jadi salah satu siswa disana. Meski awalnya tidak mau, tapi gak tau gimana akhirnya yaya berhasil juga tes buta warna, berat, tinggi, dan mendapatkan kertas bukti tentu nya, that the best part.         
                Begitu juga dengan psikotes, meski gak ingat dengan wajah guru yang jadi pewawancara, dengan berani dan ditemani ayah dan ummi tentunya , yaya mencari wajah guru yang mewawancara ke kantor guru. Dan setelah ayah mengobrol beberapa menit akhirnya guru itu bersedia mewawancarai yaya. Yesss…
                Dari semua pertanyaan guru itu, ada beberapa yang ya ingat, begini cuplikannya.
Pewawancara: anda ingin masuk ke SMA ini, keinginan sendiri atau orang tua?
Saya: orang tua. (saking polosnya, karena emang masuk ke SMA awalnya emang bujukan orang tua, yaya dari awal belum mau pindah dari pesantren)
Pewawancara: (ngangguk) tapi apakah anda terpaksa?
Saya: gak (emang gak, gak tau kenapa)
Pewancara: (ngangguk-ngangguk lagi, heran deh doyan amat ngangguknya) anda bercita-cita  mau jadi apa?
Saya: hmmm… (ini nih yang perlu mikir, saya belum tau mau jadi apa nih… pilih yang keren deh), jadi dokter, buk
Pewawancara: di universitas mana?
Saya: universitas kedokteran, buk (saat itu saya masih tidak tau beda universita sama fakultas)
Pewawancara: maksud ibu, kedokteran dimana? (kayaknya gurunya mulai keki deh, mana udah sore yang ditanya lemot lagi)
Saya: kedokteran ITB, buk (jawabanitu terdengar mantap keluar dari mulut ya. kayaknya ITB keren, pernah denger)
Pewawancara: tapi di ITB gak ada kedokteran, sayang….. (jawab guru itu, kali ini dengan wajah menahan senyum)
Saya: oh ya? (dengan ekspresi datar)

Andai saja yaya tahu, kalau jawaban yaya terlalu konyol untuk SMA yang berbasis perguruan tinggi ini, pasti yaya udah malu duluan, tapi sudahlah. Yang terpenting, proses melelahkan ini selesai.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

just me, not aldebaranIQ yet #1




Padang Panjang? Siapa bilang aku mau ke kota itu, terlalu jauh…. Meski sudah merantau selama 3 tahun ke kota Padang, kota itu adalah kota kelahiran ayahku. Lagipula ayah sering pergi ke padang apakah untuk urusan dinas atau keluarga, dan yang paling penting untuk perjalanan ke Padang tidak akan membuat perutku mual karena tidak ada belokan sekaligus tanjakan yang berderet sepanjang perjalanan.
                Tidak seperti ke Padang Panjang, bukannya tidak menghargai pekerjaan rodi dan romusha yang merampungkan jalan yang melintasi bukit itu dengan bergadai nyawa, namun aku memang tidak menyukai perasaan mual ketika mobil mulai mendaki berbelok tak henti selama 1 jam. Terlebih lagi dengan palang-palang yang menghitung jumlah kelokan itu sebanyak 44 itu berbohong. Bukan 44, tapi lebih dari seratus kelokan.
                “Nak, coba dulu…. Ummi tak akan memaksa Yaya mau masuk mana, itu pilihan Yaya. Kalau Yaya lulus, paling tidak yaya bisa membawa nama sekolah yaya ke dunia luar, ummi dengar sekolahnya bagus lho, nak”, bujuk Ummi saat itu. Yaya heran kenapa wanita yang paling yaya sayangi itu sangat pandai dalam hal membujuk dengan segala cara, walhasil yaya coba ikut tes.
                “Janji ya, kita disini sampai tamat SMA, nggak ada yang pindah ke sekolah lain, trus kita ke mesir sama-sama”, kata-kata itu diucapkan dari mulut Tiva teman SMP yaya yang juga disebut sebagai pesantren. Yaya pun mengiyakan kata-kata itu dan mengucapkan hal yang sama di lain waktu.
                “Yaya, bangun kita sampai”, yaya tidak tau itu suara siapa, namun berhasil membangunkan Yaya dari alam mimpi, setelah perut dan kepala Yaya diaduk-aduk oleh jalan yang dinamakan kelok44 tadi, masih menyisakan perasaan mules dan pusing. Syukurnya Yaya tidak sempat mengeluarkan cairan dari lambung melalui mulut, dengan nama lain muntah atau vomiting seperti yang dilakukan oleh Ummi dan Wildan, adik ya satu-satu nya.
                Agak terhuyung ya turun dari mobil, dan memperhatikan lingkungan sekitar Ya, hijau dan biru. Penuh dengan pepohonan dan susunan bangunan tua yang berwarna biru, di depan bangunan biru itu terdapat papan bertuliskan. “ BANGUNAN CAGAR BUDAYA BEKAS SEKOLAH BELANDA NORMA SCHOOL”
                “Lho, Yah, katanya mau ke ke SMA yang ayah bilangin kemaren, kok jadi ke museum?”, Tanyaku bingung.
                “Ini dia sekolah yang ayah maksud, ayah dulu pernah kesini, berkunjung ke tempat teman lama Ayah, Yuk kita lihat-lihat sekitarnya dulu”, ajak sambil berjalan mendahului Yaya yang bengong di tempat.
                “Apa? Ayah mau nyekolahin Yaya di museum? Emangnya ayah mau jadiin Yaya pegawai museum apa?”, pikir yaya bingung. Sepertinya saat itu otak yaya memang belum terlalu bekerja maximal sebagai efek mual dari perjalanan tadi, lagian seharusnya yaya nggak tidur paling nggak buat mastiin papan nama yang bertengger di depan pagar komplek bangunan itu tidak bertuliskan “MUSEUM BANGUNAN BELANDA”.
                Dibagian belakang bangunan itu ada lorong berlantai ubin, dengan tonggak-tonggak kuno berwarna biru, masih dengan coraknya yang tidak biasa ya lihat. di depan lorong itu, seseorang pria ‘agak gemuk’ terlihat sibuk memperbaiki  sesuatu menyerupai menara sinyal Telkom namun lebih pendek, yang di kemudian hari Yaya tau itu adalah pemancar sinyal WiFi.
                “Pagi pak…. Hmmmm”, sapa ayah ya seakan-akan ayah sudah mengenal bapak itu sebelumnya, atau sepertinya hanya asal menyebut nama seseorang agar terlihat seperti akrab.
                “Bastian, Pak, ada apa, Pak”, jawab pria itu ramah. Dia mempunyai kumis yang cukup lebat, dengan postur tubuh dimana terdapat tumpukan lemak di beberap daerah tertentu terutama pada bagian abdominal (perut_red), memakai topi berwarna hitam, dan memegang cangkul. Yaya yakin pria itu bukan petani yang nyasar ke bangunan bekas Belanda itu. Dan ternyata benar, lelaki yang bernama Pak Bastian itu, salah satu dari staf pengajar di sekolah, calon sekolah yaya itu. Sekolah yang bernama SMA Negeri 1 Padang Panjang. Ada rasa syukur terselip, karena ternyata calon sekolah Yaya bukan museum meski bergelar cagar budaya.
***
                Hari kedua pendaftaran bagi calon murid baru dibuka, yaya datang pukul setengah 10, tidak terlalu terlambat pikir ya.
                “Jadi harus mulai dari mana, Mi?”, Yaya mengadah kea rah Ummi, berharap agar dia membantu yaya dalam mengurus urusan admistrasi yang terlihat membingungkan di depan mata Ya.
                “Yaya sudah tamat SMP kan? Jadi urusan begini harus diselesein sendiri, Ummi tunggu sini, kreatif dikit dong, Nak”, jawab Ummi dan Ayah.  Sambil menujuk ke arah tempat registrasi di salah satu ruangan.
                Ok, ya tahu ya harus belajar untuk mengurus ini sendiri. Tapi Ya bingung benar-benar tidak tahu harus mulai dari mana. Sebenarnya ini bukan hal yang terlalu rumit, sebab banyak dari teman-teman seusia Yaya yang datang hanya dengan teman-teman  mereka. Tidak di dampingin oleh seluruh anggota keluarga seperti yang terjadi pada Yaya.
                “dari SMP 3 Lubuk Basung”, samar-samar terdengar suara seseorang menyebutkan nama yang sangat ya kenal. OK, ya tidak tahu SMP 3, tapi ya tau Lubuk Basung, rumah Ya, kampong halaman ya.
                Tapi Yaya tidak bisa melepaskan rasa canggung. Kalian harus tahu, kalau sebelumnya Yaya berada di pesantren, yang semuanya telah diurus oleh ustadz dan ustazdzah disana. Tidak ada urusan administrasi, atau hal-hal lain yang harus saya pikirkan sebelum mengikuti suatu kegiatan. Yaya tidak pernah mengurus pendaftaran ulang saat kenaikan kelas, tidak pernah mengurus proposal untuk mencari dana dan izin untuk sebuah kegiatan, semuanya telah terorganisir, dan kami hanya tinggal menerima.
                “Pelajaran kehidupan”, gumamku asal, berusaha memberi semangat pada diri sendiri. Ikut mengambil antrian untuk menjalani beberapa wawancara. Ada 3 test wawancara disana. Inggris, asrama dan baca alqur’an. Hanya 3 buah test, dan yaya tekankan sekali lagi, hanya 3 buah test, tapi ternyata sampai siang datang, belum satupun test yang ya lalui.
                “dari SMP 3 Lubuk Basung”, samar suara seseorang terdengar asyik bercakap dengan temanya. Okey, yaya tidak kenal SMP 3, tapi Lubuk Basung, itu tempat tinggal yaya, tempat Yaya bermain. I got it! A new friend !!!!
                “Dari Lubuk Basung, ya?”, serobotku sebelum dia pergi, gadis itu mengangguk dan menanyakan hal yang sama. Tentu saja jawabannya adalah ‘iya’.
                “Tapi SMP-nya di Padang”, sambungku semangat, menemukan teman bercakap di tempat asing ini, sekaligus membakar kebosanan ngantri yang tidak kunjung maju.
                “Widya”, katanya sambil mengulurkan tangan
                “Yaya, salam kenal”, jawabku membalas uluran tangannya, dan berbagi senyuman tipis.
                Pada hari-hari biasa, seharusnya jam segini azan dzuhur sudah berkumandang, tapi sekarang hari jum’at. Azan berkumandang setelah khubah jum’at selesai. Ummi memberi kode bahwa sudah waktunya melepas kejenuhan dengan berwudhu’ dan sholat. Yaya meninggalkan antrian, belum satupun ruangan yang berhasil ya masuki. Pasrah….
                “Nak, jaga waktu sholat, ya, jangan lalai, bagaimanapun lingkungannya nanti, yaya harus teguh menjaga sholat”, pesan Ummi siang itu. Pesan yang selalu disampaikan oleh kedua orang tuanya dalam telepon, ketika akan pergi dalam jangka waktu yang cukup lama, atau setiap mendatangi pesantren. Dan yaya hanya mengangguk mengiyakan seperti biasa.
                Setelah shalat, dan makan nasi soto di salah saru kedai di luar lingkungan sekolah. Saat itu yaya merasa lapar dan lelah, namun tetap saja kosong, tempat ini begitu asing, dan yaya harus kembali menjauhi ayah, ummi, bahkan ke tempat ini, tempat yang jarang dikunjungi ayah, apalagi ummi.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS