Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

just me, not aldebaranIQ yet #1




Padang Panjang? Siapa bilang aku mau ke kota itu, terlalu jauh…. Meski sudah merantau selama 3 tahun ke kota Padang, kota itu adalah kota kelahiran ayahku. Lagipula ayah sering pergi ke padang apakah untuk urusan dinas atau keluarga, dan yang paling penting untuk perjalanan ke Padang tidak akan membuat perutku mual karena tidak ada belokan sekaligus tanjakan yang berderet sepanjang perjalanan.
                Tidak seperti ke Padang Panjang, bukannya tidak menghargai pekerjaan rodi dan romusha yang merampungkan jalan yang melintasi bukit itu dengan bergadai nyawa, namun aku memang tidak menyukai perasaan mual ketika mobil mulai mendaki berbelok tak henti selama 1 jam. Terlebih lagi dengan palang-palang yang menghitung jumlah kelokan itu sebanyak 44 itu berbohong. Bukan 44, tapi lebih dari seratus kelokan.
                “Nak, coba dulu…. Ummi tak akan memaksa Yaya mau masuk mana, itu pilihan Yaya. Kalau Yaya lulus, paling tidak yaya bisa membawa nama sekolah yaya ke dunia luar, ummi dengar sekolahnya bagus lho, nak”, bujuk Ummi saat itu. Yaya heran kenapa wanita yang paling yaya sayangi itu sangat pandai dalam hal membujuk dengan segala cara, walhasil yaya coba ikut tes.
                “Janji ya, kita disini sampai tamat SMA, nggak ada yang pindah ke sekolah lain, trus kita ke mesir sama-sama”, kata-kata itu diucapkan dari mulut Tiva teman SMP yaya yang juga disebut sebagai pesantren. Yaya pun mengiyakan kata-kata itu dan mengucapkan hal yang sama di lain waktu.
                “Yaya, bangun kita sampai”, yaya tidak tau itu suara siapa, namun berhasil membangunkan Yaya dari alam mimpi, setelah perut dan kepala Yaya diaduk-aduk oleh jalan yang dinamakan kelok44 tadi, masih menyisakan perasaan mules dan pusing. Syukurnya Yaya tidak sempat mengeluarkan cairan dari lambung melalui mulut, dengan nama lain muntah atau vomiting seperti yang dilakukan oleh Ummi dan Wildan, adik ya satu-satu nya.
                Agak terhuyung ya turun dari mobil, dan memperhatikan lingkungan sekitar Ya, hijau dan biru. Penuh dengan pepohonan dan susunan bangunan tua yang berwarna biru, di depan bangunan biru itu terdapat papan bertuliskan. “ BANGUNAN CAGAR BUDAYA BEKAS SEKOLAH BELANDA NORMA SCHOOL”
                “Lho, Yah, katanya mau ke ke SMA yang ayah bilangin kemaren, kok jadi ke museum?”, Tanyaku bingung.
                “Ini dia sekolah yang ayah maksud, ayah dulu pernah kesini, berkunjung ke tempat teman lama Ayah, Yuk kita lihat-lihat sekitarnya dulu”, ajak sambil berjalan mendahului Yaya yang bengong di tempat.
                “Apa? Ayah mau nyekolahin Yaya di museum? Emangnya ayah mau jadiin Yaya pegawai museum apa?”, pikir yaya bingung. Sepertinya saat itu otak yaya memang belum terlalu bekerja maximal sebagai efek mual dari perjalanan tadi, lagian seharusnya yaya nggak tidur paling nggak buat mastiin papan nama yang bertengger di depan pagar komplek bangunan itu tidak bertuliskan “MUSEUM BANGUNAN BELANDA”.
                Dibagian belakang bangunan itu ada lorong berlantai ubin, dengan tonggak-tonggak kuno berwarna biru, masih dengan coraknya yang tidak biasa ya lihat. di depan lorong itu, seseorang pria ‘agak gemuk’ terlihat sibuk memperbaiki  sesuatu menyerupai menara sinyal Telkom namun lebih pendek, yang di kemudian hari Yaya tau itu adalah pemancar sinyal WiFi.
                “Pagi pak…. Hmmmm”, sapa ayah ya seakan-akan ayah sudah mengenal bapak itu sebelumnya, atau sepertinya hanya asal menyebut nama seseorang agar terlihat seperti akrab.
                “Bastian, Pak, ada apa, Pak”, jawab pria itu ramah. Dia mempunyai kumis yang cukup lebat, dengan postur tubuh dimana terdapat tumpukan lemak di beberap daerah tertentu terutama pada bagian abdominal (perut_red), memakai topi berwarna hitam, dan memegang cangkul. Yaya yakin pria itu bukan petani yang nyasar ke bangunan bekas Belanda itu. Dan ternyata benar, lelaki yang bernama Pak Bastian itu, salah satu dari staf pengajar di sekolah, calon sekolah yaya itu. Sekolah yang bernama SMA Negeri 1 Padang Panjang. Ada rasa syukur terselip, karena ternyata calon sekolah Yaya bukan museum meski bergelar cagar budaya.
***
                Hari kedua pendaftaran bagi calon murid baru dibuka, yaya datang pukul setengah 10, tidak terlalu terlambat pikir ya.
                “Jadi harus mulai dari mana, Mi?”, Yaya mengadah kea rah Ummi, berharap agar dia membantu yaya dalam mengurus urusan admistrasi yang terlihat membingungkan di depan mata Ya.
                “Yaya sudah tamat SMP kan? Jadi urusan begini harus diselesein sendiri, Ummi tunggu sini, kreatif dikit dong, Nak”, jawab Ummi dan Ayah.  Sambil menujuk ke arah tempat registrasi di salah satu ruangan.
                Ok, ya tahu ya harus belajar untuk mengurus ini sendiri. Tapi Ya bingung benar-benar tidak tahu harus mulai dari mana. Sebenarnya ini bukan hal yang terlalu rumit, sebab banyak dari teman-teman seusia Yaya yang datang hanya dengan teman-teman  mereka. Tidak di dampingin oleh seluruh anggota keluarga seperti yang terjadi pada Yaya.
                “dari SMP 3 Lubuk Basung”, samar-samar terdengar suara seseorang menyebutkan nama yang sangat ya kenal. OK, ya tidak tahu SMP 3, tapi ya tau Lubuk Basung, rumah Ya, kampong halaman ya.
                Tapi Yaya tidak bisa melepaskan rasa canggung. Kalian harus tahu, kalau sebelumnya Yaya berada di pesantren, yang semuanya telah diurus oleh ustadz dan ustazdzah disana. Tidak ada urusan administrasi, atau hal-hal lain yang harus saya pikirkan sebelum mengikuti suatu kegiatan. Yaya tidak pernah mengurus pendaftaran ulang saat kenaikan kelas, tidak pernah mengurus proposal untuk mencari dana dan izin untuk sebuah kegiatan, semuanya telah terorganisir, dan kami hanya tinggal menerima.
                “Pelajaran kehidupan”, gumamku asal, berusaha memberi semangat pada diri sendiri. Ikut mengambil antrian untuk menjalani beberapa wawancara. Ada 3 test wawancara disana. Inggris, asrama dan baca alqur’an. Hanya 3 buah test, dan yaya tekankan sekali lagi, hanya 3 buah test, tapi ternyata sampai siang datang, belum satupun test yang ya lalui.
                “dari SMP 3 Lubuk Basung”, samar suara seseorang terdengar asyik bercakap dengan temanya. Okey, yaya tidak kenal SMP 3, tapi Lubuk Basung, itu tempat tinggal yaya, tempat Yaya bermain. I got it! A new friend !!!!
                “Dari Lubuk Basung, ya?”, serobotku sebelum dia pergi, gadis itu mengangguk dan menanyakan hal yang sama. Tentu saja jawabannya adalah ‘iya’.
                “Tapi SMP-nya di Padang”, sambungku semangat, menemukan teman bercakap di tempat asing ini, sekaligus membakar kebosanan ngantri yang tidak kunjung maju.
                “Widya”, katanya sambil mengulurkan tangan
                “Yaya, salam kenal”, jawabku membalas uluran tangannya, dan berbagi senyuman tipis.
                Pada hari-hari biasa, seharusnya jam segini azan dzuhur sudah berkumandang, tapi sekarang hari jum’at. Azan berkumandang setelah khubah jum’at selesai. Ummi memberi kode bahwa sudah waktunya melepas kejenuhan dengan berwudhu’ dan sholat. Yaya meninggalkan antrian, belum satupun ruangan yang berhasil ya masuki. Pasrah….
                “Nak, jaga waktu sholat, ya, jangan lalai, bagaimanapun lingkungannya nanti, yaya harus teguh menjaga sholat”, pesan Ummi siang itu. Pesan yang selalu disampaikan oleh kedua orang tuanya dalam telepon, ketika akan pergi dalam jangka waktu yang cukup lama, atau setiap mendatangi pesantren. Dan yaya hanya mengangguk mengiyakan seperti biasa.
                Setelah shalat, dan makan nasi soto di salah saru kedai di luar lingkungan sekolah. Saat itu yaya merasa lapar dan lelah, namun tetap saja kosong, tempat ini begitu asing, dan yaya harus kembali menjauhi ayah, ummi, bahkan ke tempat ini, tempat yang jarang dikunjungi ayah, apalagi ummi.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar