Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

it just dust not a star yet #2

Kembali ke antrian yang yaya tinggalkan berapa saat, kembali bertemu dengan beberapa orang yang sempat berkenalan sebelumnya.
                “Ya, kenalkan ini Vina, dia dari Pariaman”, seorang teman yang baru ya kenal mengenalkan temannya yang juga baru dikenalnya kepadaku.
                “Hai”, sapa anak itu ramah, dia duduk di atas meja sambil menggoyang-goyangkan kakinya.
itu dia si vinna, duduk di meja
sambil mengoyang-goyangkan kakinya
                “Hai, Yaya”, jawabku, sambil menanyakan hal-hal dasar seperti saat berkenalan dengan teman-teman yang lain. Seperti sekolah asal, hmmm sepertinya hanya sekolah asal….
                “Ya, punya seragam cadangan gak?”, Tanya Vina ketika itu, Yaya baru sadar ternyata vina tidak menggunakan seragam , padahal saat wawancara, harus menggenakan seragam. Dan karena memang tidak membawa seragam cadangan, yaya hanya bisa menggeleng.
                “kalau kita tukeran mau gak?”, tawarnya santai
                “Huh?”, hampir saja ekspresi kaget itu mencuat di air muka ya.  ‘tukeran?? Emang sih dulu di pesantren pinjam meminjam baju adalah hal yang biasa, namun tukeran baju yang lagi dipakai, ya belum berniat nyoba’ otak ya tiba-tiba sibuk mencerna kata-kata barusan, mengenai efek fisiologis, sosiologis, dan patologis yang mungkin muncul apabila kejadian tadi.
                Masih dengan tampang bego’ ya belum bisa memberikan jawaban yang pasti.
me and vinna after one year
                “engggg,,, ya juga belum selesai wawancara, nih”, jawabnya ragu, padahal itu alasan paling bagus dan jujur. Sip. Gadis itu mengangguk dan mencari korban lain. Ada sedikit rasa bersalah di hati Ya, bagaimana kalau dia tidak diizinkan masuk, cuma gara-gara gak make seragam. Duh serasa makan buah simalakama.
                Begitulah, rentetan wawancara itu berlangsung tidak menyenangkan karena antriannya yang makin lama makin serabutan, karena ada teman-teman yang mulai menangis karena waktu pendaftaran sudah mau ditutup, sudah ngantri dari pagi tapi nasib belum berbaik hati padanya, bukan karena proses wawancaranya karena yang mewawancara itu Pembina asrama yang baik-baik.
                Jam 4 sore. Waktu habis…..
                 Ya belum tes kesehatan dan wawancara psikotes. Saat wawancara psikotes, giliran di depan mata, tapi waktu keburu habis, dan pewawancaranya keluar dari ruangan diiringi tatapan nelangsa murid-murid. Murid yang terakhir di wawancarai memakai tas hijau dan menangis saat diwawancara, dia mempunyai kembaran yang duduk berbagi kursi dengan ya. ya tidak terlalu mempedulikan kembarannya yang memasang tampang gusar di samping ya, karena terlanjur nelangsa menyaksikan pewawancara melangkah pasti keluar.
                “berapa test lagi yaya yang belum selesai, nak”, tanyak ayah.
                “dua”, jawabku manyun dan lemas, karena harus kembali lagi ke tempat ini besok pagi bayangan perasaan mual saat melewati kelok44 kembali melintas.
                “Tes apa aja yang belom”, Tanya ayah lagi.
                “Kesehatan dan wawancara psikotes”, jawab ya lagi, terbayang masa-masa suram berebut antrian saat di tempat tes kesehatan. Antrean disana sangat beringas di penghujung waktu. Desak-desakkan seperti pembagian sembako yang tragis itu lho, ditambah ada sekelompok murid dengan pakaian batik yang seragam, berusaha sibuk merayu petugas agar antriannya dimajukan.
                Dan saat itu keajaiban terjadi, ayah menarik yaya ke ruangan tes kesehatan, membujuk dokter yang disana yang sudah kucel dan kecapean memeriksa kesehatan peserta yang mendaftar untuk jadi salah satu siswa disana. Meski awalnya tidak mau, tapi gak tau gimana akhirnya yaya berhasil juga tes buta warna, berat, tinggi, dan mendapatkan kertas bukti tentu nya, that the best part.         
                Begitu juga dengan psikotes, meski gak ingat dengan wajah guru yang jadi pewawancara, dengan berani dan ditemani ayah dan ummi tentunya , yaya mencari wajah guru yang mewawancara ke kantor guru. Dan setelah ayah mengobrol beberapa menit akhirnya guru itu bersedia mewawancarai yaya. Yesss…
                Dari semua pertanyaan guru itu, ada beberapa yang ya ingat, begini cuplikannya.
Pewawancara: anda ingin masuk ke SMA ini, keinginan sendiri atau orang tua?
Saya: orang tua. (saking polosnya, karena emang masuk ke SMA awalnya emang bujukan orang tua, yaya dari awal belum mau pindah dari pesantren)
Pewawancara: (ngangguk) tapi apakah anda terpaksa?
Saya: gak (emang gak, gak tau kenapa)
Pewancara: (ngangguk-ngangguk lagi, heran deh doyan amat ngangguknya) anda bercita-cita  mau jadi apa?
Saya: hmmm… (ini nih yang perlu mikir, saya belum tau mau jadi apa nih… pilih yang keren deh), jadi dokter, buk
Pewawancara: di universitas mana?
Saya: universitas kedokteran, buk (saat itu saya masih tidak tau beda universita sama fakultas)
Pewawancara: maksud ibu, kedokteran dimana? (kayaknya gurunya mulai keki deh, mana udah sore yang ditanya lemot lagi)
Saya: kedokteran ITB, buk (jawabanitu terdengar mantap keluar dari mulut ya. kayaknya ITB keren, pernah denger)
Pewawancara: tapi di ITB gak ada kedokteran, sayang….. (jawab guru itu, kali ini dengan wajah menahan senyum)
Saya: oh ya? (dengan ekspresi datar)

Andai saja yaya tahu, kalau jawaban yaya terlalu konyol untuk SMA yang berbasis perguruan tinggi ini, pasti yaya udah malu duluan, tapi sudahlah. Yang terpenting, proses melelahkan ini selesai.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar